Mencintai Kerja
Insight: Artikel ini adalah salah satu refleksi dari penulis tentang fenomena kurangnya anak-anak sekolah dalah mencintai kerja. Kali ini esai edukasi dot com tergelitik untuk membahas hal tersebut.
Menumbuhkan Budaya Mencintai Kerja Sejak Dini
Membuat anak mencintai kerja |
Salah seorang tokoh pendidikan Indonesia, Bp. Drs Sopater Sutedjo, M.Miss, pernah mengungkapkan bahwasanya salah satu hal mendasar yang sangat berharga yang hilang dari generasi milenial ini adalah semangat untuk mencintai kerja.
Bukan hanya menggemari, tetapi mencintai. Memang, secara umum Penulispun merasa, jangankan mencintai, anak sekarang justru sebisa mungkin untuk menghindari kerja. Padahal dengan bekerja, banyak hal yang bisa kita pelajari. Ketekunan, keuletan, tahan uji, kesabaran, dan ketangguhan. Juga skill-skill yang disebut sebagai skillnya abad 21: inovasi, pemecahan masalah, kecerdikan, kecerdasan berkomunikasi dan lainnya.
Semua bisa dipelajari dengan bekerja. Dan jangan salah, bekerja juga tak melulu harus meninggalkan bangku sekolah. Atau membanting tulang belasan jam dengan berpeluh keringat. Kita sedang membicarakan semangatnya, passion-nya. Kita sedang membahas mengenai sikapnya, yaitu sikap mencintai kerja. Kerja bisa apa saja, membantu ibu membersihkan rumah secara rutinpun sudah pantas disebut bekerja.
Sebagai salah satu dari mereka yang lahir di era 90an, Penulis memahami bagaimana sekolah dan pendidikan merupakan hal yang sangat mahal dan mewah di masa lalu.
Banyak cerita dan kisah nyata yang Penulis (dan mungkin anda) saksikan, mengenai anak-anak yang masuk sekolah siang/sore/malam karena paginya bekerja. Atau anak yang bekerja seusai sekolah. ilustrasi tentang mencintai kerja Jangan salah, di era itu, bekerja juga memiliki nuansa bermainnya sendiri. Menggembalakan kerbau sambil bergurau dengan teman. Berkejaran di pinggir pantai sembari menanti ayah menyiapkan kapal untuk melaut. Atau sekedar di warung, membantu ibu melayani penjual. Bekerja adalah dunia yang menyenangkan sebenarnya.
Seiring dengan kemajuan zaman, entah mengapa semangat untuk mencintai kerja semakin luntur. Anak-anak lebih menyukai menghabiskan waktu menonton kartun atau telenovela. Pun demikian dengan remajanya. Semangat mencintai kerja menjadi berkurang.
Puncaknya, saat ini, dimana smartphone dan game online begitu meraja. Tak heran akhirnya angkatan kerja kita begitu terasa gagap ketika dilepas di dunia kerja nyata yang sebenarnya. Mereka terlihat begitu lemah dan lembek. Gampang menyerah ketika kesulitan menerpa dan cenderung memilih-milih pekerjaan.
Memang generasi milenial adalah mereka yang secara umum disebut hi-tech native. Mereka lebih awal secara usia dalam mengenal teknologi.
Tetapi apakah mereka lebih paham? I don’t think so! Teknologi yang ada sekarang mayoritas adalah peninggalan generasi 90-80-70an. Dan milenials memang sukses sebagai user, tetapi belum terbukti secara general sebagai inventor! Ya, memang banyak kasus menunjukkan anak-anak remaja belia yang sukses sebagai vlogger, memiliki toko online yang laris manis atau berhasil menjalin kontrak dengan perusahaan besar sebagai selebgram. Tetapi itu hanyalah sedikit jika dibanding mereka yang makin konsumtif dan hedonis. Jangan palingkan muka pada mereka yang merengek-rengek pada orang tuanya untuk dibelikan smartphone baru. Atau mereka yang masih duduk di kelas SMP tetapi sudah terlibat pornografi. Bahkan ada yang rela jadi begal demi memuaskan hasrat konsumerisnya. Sedangkan secara subyektif Penulis menilai di masa lalu, secara umum mental anak dan remaja lebih kuat. Keterbatasan membuat mereka kreatif dan tahan uji. Maka merekapun menjadi motor pembangunan yang handal, baik bagi keluarga, masyarakat atau minimal bagi dirinya sendiri.
Membangun Insan Pekerja Keras
Apa intinya? Hilangnya semangat mencintai kerja karena tersedianya berbagai kemudahan. Sawah yang semakin menciut sangat disesalkan. Padahal disanalah sekolah yang sebenar-benarnya sekolah. Begitupula pasar tradisional dengan ratusan lapak rakyat dan aura ekonomi kerakyatan yang sederhana yang benar-benar mengejewantah menjadi fakultas ekonomi yang sesungguhnya. Juga lapangan komplek yang semakin langka, padahal darisana kita bisa mendapatkan bibit-bibit pemain bola atau badminton jempolan tanpa harus melakukan naturalisasi.
What is to be done? Let’s see the future! Akan seperti apa bangsa ini jika anak mudanya makin gemar tampil bugil di Instagram atau kecanduan game online? Sedangkan sumber daya kita terus menerus digerogoti asing.
Pendidikan harus berubah! Bukan melulu kurikulumnya, karena memang yang satu ini pasti berubah minimal lima tahun sekali. Tetapi pengejewantahan dari pendidikan yang harus diubah. Sudut pandang rakyat Indonesia harus disadarkan, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
Hanya bergantung pada sekolah sama saja dengan bunuh diri! Life skill yang diajarkan sejelas-jelasnya. Semua subjek pelajaran harus terarah untuk membangun manusia Indonesia yang mandiri, entah itu sebagai karyawan handal nan tangguh atau wirausahawan yang inovatif dan cerdik. Hapus hal-hal yang tidak perlu yang hanya jadi beban! Justru pelajaran-pelajaran yang selama ini dikesampingkan, seperti olahraga, seni dan kewiraan harus didorong.
Tetapi pastikan apa yang diajarkan memang berguna. Tidak perlu menghapal nama ketum PSSI dari jaman orde baru atau menjelaskan sejarah benang wol! Ajari cara menendang bola yang benar, beri inspirasi mengenai kisah sukses desainer terkenal, maka anak akan termotivasi untuk mengembangkan dirinya.
Di sekolah internasional, ada kecenderungan guru menjadi karyawan, menjadi pelayan siswa. Ini salah! Guru harus memiliki wibawa, yakni menjadi pemberi ilmu, penumbuh motivasi sekaligus sahabat sejati. Bukannya menjadi pelayan yang bertugas memberi ilmu lalu di bayar. Anak harus tahu apa itu mengepel kelas, membersihkan piala atau merawat kebun sekolah. Mencintai kerja bisa ditumbuhkan dari dan bersama dengan sekolah.
Sekolah harus mampu memberi contoh dan mendisain kegiatan-kegiatan yang menstimulus semangat anak untuk bekerja. Jumlah pengangguran sudah banyak dan makin bertambah, sedang angkatan kerja yang sekarang juga mayoritas kalah produktif dengan negara tetangga. Maka mencintai kerja adalah juga salah satu skill yang harus diterapkan dan dibentuk di sekolah.
Tapi jelas itu semua tidak lebih dari sekedar omong kosong jika guru-gurunya hanyalah sekumpulan manusia gila hormat yang tidak kompeten, hanya mengejar sertifikasi, hidupnya dekat dengan hedonisme, gemar pilih kasih dan ternyata juga tidak cakap bekerja. Percayalah, guru seperti itu ada, walau tidak semua. Maka revolusi pendidikan pertama harus dimulai dari bangku perguruan tinggi, menyasar pada calon guru, agar sesegera mungkin bisa menendang keluar guru-guru pengejar nafsu dunia yang pada hakekatnya hanya melahirkan generasi gagap.
So, when should we begin? Now! Siapapun anda, jika mungkin anda bersepakat dengan tulisan ini, mari kita luangkan waktu sejenak untuk berpikir. Jangan terlalu lama berpikir, karena hanya akan menjadikan kita pemikir tanpa tindakan alias pemimpi di siang bolong. Mari kita peduli pada generasi milenial kita.
Caranya? Penulis yakin anda pasti tahu. Tulisan ini hanya bertujuan memprovokasi. Jika anda pendidik, sisipkan life skill yang benar-benar bisa menerbitkan jiwa inovatif, ketangguhan, percaya diri, berani dan jujur, yang pada akhirnya akan diikuti dengan skill-skill lainnya.
Jika anda adalah seorang penulis, sisipkan pesan untuk mencintai kerja pada tulisan anda. Apalagi jika anda adalah seorang buzzer, walau tak ada yang membayar anda, tapi negeri ini sejatinya akan berterima kasih pada anda. Nothing is nothing! Semua orang itu penting, bahkan anda yang tidak bekerja tetapi merupakan orang tua dari anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Didik mereka untuk tidak cengeng, merengek manja dan hobi menyerah pada keadaan.
Tanamkan mental toughness melalui tugas-tugas sederhana: mencuci piring sendiri setelah makan, memberi makan ikan secara rutin, atau membantu belanja di pasar. Drs. Sopater Sutedjo memang sudah tiada, tetapi pesannya kepada Penulis masih terngiang jelas: Tanamkan semangat mencintai kerja.
Dan kini pesan beliau sudah Penulis tularkan kepada anda. It means that, you are the next! Tidak ada salahnya turut serta dalam kampanye mencintai kerja ini. Setidaknya jika kita tidak mau turut membangun generasi yang mencintai kerja, maka kita bisa membangun diri kita sendiri. Seperti layaknya mantra, mencintai kerja adalah sihir yang akhirnya membangunkan naga yang tidur, membangunkan raksasa yang lama berhibernasi dalam diri anda. Karena pada dasarnya andalah yang akan merasakan keuntungannya nanti.
Mari mencintai kerja sejak dalam pikiran! Konklusi: Harus ada semangat untuk menanamkan pada diri anak-anak sedari kecil bagaimana seharusnya mereka mencintai kerja. Dengan membiasakan mereka mencintai kerja maka akan terbentuk karakter-karakter yang tangguh dalam diri mereka.
Demikian artikel kali ini. Baca juga daftar pekerjaan sampingan terbaik untuk guru yang akan memberikan insight baru mengenai berbagai peluang yang bisa diambil selagi tetap mengajar.
Posting Komentar untuk "Mencintai Kerja"