Hal-hal yang Seharusnya Dulu Saya Pelajari (secara serius).
Dunia ini indah, jika kita benar-benar bisa bersyukur dan menikmatinya. Alam yang subur, keluarga yang penuh kasih, rumah yang hangat, pekerjaan yang menyenangkan dan lain sebagainya. Jika belum merasakan itu semuanya, setidaknya bersyukur karena masih bisa bernafas. Ingat, banyak orang pilek dan berhidung mampet iri dengan kita yang sehat. Rasa syukur memang merupakan kunci hidup bahagia yang paling dasar, walau kadang paling sulit untuk diterapkan.
skill penting untuk kehidupan |
Sayang seindah apapun dunia ini, harus kita sadari waktu kita sangat terbatas. Bahkan jika kita flashback sebentar, entah itu membongkar kembali resolusi tahunan kita di tahun-tahun sebelumnya atau membuka catatan harian kita, maka dunia akan terasa sangat amat singkat. Bahkan saking singkatnya, sebelum kopi kita seduh, kita harus meninggalkannya. Jadi alangkah ruginya jika hidup hanya mampir ngopi.
Sayapun merasa demikian. Betapa dunia yang indah ini begitu singkat. Terlebih ketika tahu ada banyak hal yang belum saya lakukan. Akhirnya, dari refleksi amatir dan dangkal itu, maka sebelum waktu saya habis (waktu weekend maksudnya -smile- don’t be so serious, dude), maka sayapun menulis artikel yang sekarang anda baca.
Suatu hari, ketika saya membuka beranda facebook saya, muncul beberapa post tentang kenangan-kenangan yang pernah saya tulis pada hari itu di tahun yang lalu, entah itu setahun atau dua tahun lalu. Sempat tersenyum, tetapi kemudian ada sesuatu yang berhasil mengusik sanubari saya, merambat ke nurani lalu kemudian mengendap di pikiran saya.
Ada banyak hal yang sudah terjadi: tawa dan tangis, bahagia dan dukacita, rumah yang nyaman dan tempat yang baru, kawan lama yang baik hati dan sahabat baru yang menyenangkan. Ada posting tentang bagaimana saya belajar bahasa Jerman, mencoba memakai dslr baru hingga pergi ke pusat kebugaran dan nge-gym untuk pertama kalinya dengan serius. Juga kenangan saat mengikuti kelas kulintang serta mengikuti berbagai training tentang aneka games seru yang biasa diterapkan di kelas.
Entah kenapa, lalu rasa galau yang muncul itu kemudian berbiak dan menimbulkan penyesalan.
Bermula dari pertanyaan: “apa yang sebenarnya harus saya lakukan di dalam kehidupan yang singkat ini”, lalu kemudian berkembang menjadi “apa yang seharusnya saya pelajari di masa lalu”. Hasilnya sungguh mengenaskan. Ada rasa galau tingkat Asgardia sekaligus penyesalan sedalam Atlantis. Ternyata selama ini ada banyak kesempatan yang sudah terlewatkan, hilang dan menguap sia-sia seperti kepulan asap wedang teh di angkringan.
Padahal jika pada waktu itu saya serius untuk mempelajarinya, tentu akan sangat berguna. Memang penyesalan datang selalu terlambat. Lalu berbekal penyelasan yang datang terlambat itu, saya berefleksi secara amatir dan menginterview diri saya sendiri untuk menjawab pertanyaan di atas: Apa yang seharusnya saya pelajari dari dulu?
1. Bahasa asing
Di luar bahasa Inggris, saya ternyata juga pernah mempelajari berbagai bahasa asing lainnya. Di SMA, saya sempat belajar bahasa Jepang (2 tahun) dan Jerman (1 tahun). Juga pernah mendaftar kursus bahasa China, Jepang, Jerman dan coba tebak yang terakhir…… Rusia!
Semua berakhir menyedihkan. Hanya beberapa kata yang saya ingat, itupun dengan pronunciation yang saya ragu tepat atau tidak. Sempat menghafal hampir dua ratus kata dalam bahasa Jepang, bahkan termasuk grammar dan conversation-nya, tetapi kemudian semuanya itu seperti lenyap tak berbekas.
Sebenarnya masih ada bekasnya: beberapa buku paket dan latihan bahasa Jepang plus cara menulis hiragana, katakana hingga kanji. Baru saya sadari, sebenarnya saya telah membuang-buang kesempatan emas. Andai bisa menguasai Bahasa Jepang tentu kesempatan untuk meraih sukses akan lebih besar lagi.
Pun demikian dengan bahasa Jerman. Alih-alih hafal beberapa kata dan mampu menggunakannya dalam percakapan paling sederhana, ingat vocab paling simple pun tidak. Yang diingat hanyalah, Jerman berserta bahasanya itu sangat ribet. Semua vocab noun memiliki gender.
Aih… pusing pala Pamela Anderson! Alhasil setahun bercumbu dengan bahasa Jerman plus kursus yang hampir setengah tahun itu jadi sia-sia.
Hal yang sama dan jauh lebih parah juga terjadi dengan skill bahasa Rusia saya. Hanya satu kata yang ingat: Spasiba. Itupun dari seseorang yang pernah tinggal di Uni Sovyet jaman old dan mengkritik pengucapan spaseboo saya.
Mungkin bahasa mandarin jauh lebih berguna dan bertahan lama. Mungkin karena lingkungan kerja saya. Padahal waktu kursus dulu, Mandarin serasa jauh lebih sulit dari Jepang. Bahkan Rusia.
Mungkin saya salah ambil kursus. Saya suka sesi conversation-nya, tapi begitu masuk kanji, sirilik dan lainnya saya langsung stress dan berujung ambil jarak secara progresif alias berhenti. Padahal itu adalah tantangan sekaligus sesuatu yang seru. Selain itu saya sudah punya modal yang cukup kuat: rasa tertarik pada bahasa-bahasa tersebut. Mungkin setelah ini saya akan ambil kursus lagi. Entah kenapa tetiba saya memikirkan bahasa Uighur. Atau Uzbekistan. Tapi mungkin bahasa salah satu suku di Zimbabwe juga pantas dicoba.
2. Akutansi
Saya sudah menyadari satu hal, semua zaman memiliki trend-nya masing-masing. Dalam hal berkarir, ada suatu masa dimana suatu pekerjaan menjadi sangat favorit dan dibutuhkan, lalu kemudian ketika zaman berganti, pekerjaan itu hilang. Tetapi tidak dengan profesi akuntan. Selama masih ada proses perdagangan, dan membeli barang masih menggunakan uang terlebih harus berhubungan dengan pajak, skill akutansi tetap dibutuhkan.
Semua bisa jadi pengusaha. Seorang guru juga bisa jadi pengusaha batik, atau atlet sepakbola yang berbinisnis restoran. Tetapi tetap, akutansi dan akuntan sangat dibutuhkan. Lihat saja kolom lowker dari jaman ke jaman, profesi akuntan tetap dibutuhkan!
Sempat jatuh cinta dengan pelajaran akutansi (entah lupa di masa SMP atau SMA), tetapi kemudian melupakannya. Mungkin karena memang lemah di proses hitung-menghitung. Tetapi jaman sekarang, itu bisa diatasi dengan excel dan karce (merk kalkulator guys!). Mungkin setelah mendaftar kursus bahas Zimbabwe, saya juga akan mendaftar kursus akutansi.
3. Koding
Dulu sempat belajar HTML dan bahasa pemrograman, tapi sayang tidak menyukainya sama sekali. Pikir saya, kalau bisa maen Friendster (tidak tahu ya, sesepuhnya facebook), kenapa harus susah-susah belajar HTML dan konco-konconya. Padahal guru dan tentor saya dulu (lupa namanya) sangat cerdas sekaligus baik hati. Ya, tapi apa gunanya guru dan tentor yang baik kalau satu computer harus dipakai orang tiga bergantian. Mungkin setelah pulang kursus akutansi nanti dan saya akan belajar koding. Dengan catatan kalau tidak mengantuk.
4. E-commerce
Ini yang bikin nyesel. Dulu sempat membangun sebuah web berdomain dengan dasar ilmu-ilmu e-commerce dari sebuah buku yang sangat keren. Sayang karena kesibukan dan kemalasan, berhenti dan mati sebelum berkembang. Padahal, jika saja berlanjut, maka sekarang sudah bisa jadi sebuah start-up yang membanggakan.
Inilah yang saya sadari sering terjadi dengan diri saya: agak jeli melihat peluang tapi sangat bermasalah dengan konsistensi. Beruntung blog yang ini setidaknya masih rajin diisi artikel. Biasanya dua bulan setelah bikin blog, jangankan diisi, tidak lupa password-nya sajah sudah untung.
5. Beladiri
Sempat belajar silat dan jatuh cinta terhadapnya, akhirnya layu juga. Padahal beladiri sangat penting, setidaknya menjaga kebugaran. Beladiri, khususnya silat, tidak hanya melulu soal menyerang, tetapi juga bagaimana menjaga kebugaran dengan rutin latihan, menjadi rendah hati namun tetap berjiwa pantang-menyerah serta berprinsip berani membela kebenaran. Beberapa menit setelah merenung untuk point yang kelima ini, saya langsung download apk beladiri di smartphone. Semoga saja penyakit lama; inkonsistensi dan cepet males tidak muncul lagi. Semangat!
6. Musik
Harusnya saya menyewa seorang guru untuk melatih vocal saya, tetapi sekarang rasanya sudah kasep. Selain memang berbakat cempreng, saya tidak paham solmisasi sama sekali. Sungguh menyedihkan.
Padahal ada banyak kesempatan untuk bisa berkembang jika saya setidaknya mengerti solmisasi. Yang ada justru rasa rendah diri dan sering malu-maluin. Tetapi entah kenapa hingga hari ini masih sering diikutkan paduan suara. Mungkin karena buat menggenapi kuota saja.
Sekarang saya mulai serius bermain gitar. Walau kadar keseriusan itu sangat subjektif, tetapi setidaknya tidak terlalu memalukan untuk mengiringi lagu-lagu sederhana. Mungkin di akhir pekan saya akan mengambil kursus musik. Asal Liverpool tidak sedang bertanding.
7. Teknik mempengaruhi orang ala Dale Carnegie.
Motivator satu ini memang luar biasa. Bukunya menjadi semacam bible bagi banyak orang. Bahasanya sederhana, penjelasannya terang benderang dan masuk akal, pun ilustrasinya sangatlah menarik. Hampir lima kali saya khatam bukunya.
Tetapi menikmati buku dan mempraktekkan apa yang ada di buku adalah dua hal yang berbeda, seperti timur dan barat. Andai saya benar-benar menerapkan how to make friends and influence people dengan lebih pro, maka saya bisa berdiri sejajar dengan orang-orang sukses lainnya. Itulah mengapa saya membatasi belanja buku motivasi. Bahkan yang sekelas karya beliau saja saya hanya nikmati seperti novel, bagaimana dengan yang lain…
8. Filsafat.
Filsafat itu membuat dunia yang sudah rumet menjadi lebih mbulet. Ya benar, mungkin karena itu saya menyukainya. Membaca pemikiran Nietzhe yang absurd, Marx yang ekstrim, atau Lafargue yang pemalas adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Rasanya, yang mbulet itu sangat asyik. Membenturkan Hegel dan Feurbach walau sampai sekarang saya juga tidak tahu apa yang berbeda dari kedua orang Jerman itu.
Yang mungkin lebih benderang adalah filsafat pertentangan kelasnya Lenin, Mao, dan ideologi sesudahnya yang lebih aplikatif.
Atau kebencian Bakunin pada sistem yang ia rangkum dalam filsafat anarkisme-nya. Itu menarik.
Untuk dalam negeri, saya mengagumi Bung Karno dan Marhaenismenya. Juga Tan Malaka walaupun tidak bernar-benar yakin apa yang sebenarnya ia bahas: Nasionalisme berkedok sosialisme, Marxisme gaya baru ala Indonesia atau sebuah ideologi yang benar-benar baru sama sekali. Yang saya tahu, petualangan hidupnya jauh lebih menarik dan mendebarkan.
Saya lebih suka mempelajari filsafat kuno Jawa, entah itu pemikiran Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach, Kejawen lama atau pemikiran era Kerajaan Hindu-Buddha. Sayang sumber yang ada sangat terbatas.
Tetapi itu semua hanya sebatas suka. Tidak lebih. Jika lebih dari itu, mungkin saya sudah jadi guru besar UGM. Atau pesakitan yang cerewet dan gemar mengomentari politik nasional sembari ngutang kopi dan mijitin tukang becak supaya bisa diutangi beli beras.
9. Woodworking
Berawal dari fakta bahwa ayah Yesus, si Yusuf adalah tukang kayu, saya jatuh cinta pada woodworking (saya belum menemukan translasi bahasa Indonesia yang tepat untuk yang satu ini). Ternyata eh ternyata Presiden kita, Jokowi, juga berprofesi yang sama. Cuma punya sambilan: ngurus negara. Terdengar absurd. Tapi memang absurd.
Saya hanya bisa menyalurkan minat saya itu melalui video woodworking di youtube. Selebihnya, tidak ada! Padahal sebagai cowok, woodworking itu penting. Mengolah kayu menjadi meja kerja sendiri sungguh sangat mengasyikan. Ah, kayu…
10. Memasak
Memasak itu penting, sepenting makan dan minum. Sebagai mantan perantau yang hidup tanpa orang tua, kadang skill yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan bisa muncul. Memasak contohnya, walau level very amateur. Sempat jatuh cinta pada kegiatan mengolah makanan, terutama ketika menonton program eat & go. Tetapi semua itu lenyap seketika.
Memang tidak harus perlu jadi chef untuk bisa memasak, namun pengalaman, bimbingan yang tepat dan ketersediaan bahan mutlak diperlukan, khususnya bagi yang tidak memiliki bakat alami seperti saya.
Mungkin setelah kursus bahasa Zimbabwe saya akan mencoba-coba memasak. Resep masakan dari Peurto Rico nampak sangat menantang.
11. Menjahit
Ini yang seharusnya ada di list pertama. Kenapa? Karena ibu saya seorang penjahit. Bahkan penjahit yang laris. Sayang, itu semua tidak menurun ke saya. Padahal saya sadari itu sangat penting.
Setidaknya saya tidak perlu merepotkan ibu saya lagi dengan resleting yang harus diganti, atau celana yang sobek di bagian tertentu. Bahkan andai serius, saya bisa menjadikan ini sebagai lahan bisnis mengingat konstumer ibu saya memiliki loyalitas yang tinggi.
12. Menggambar / melukis
Semua orang bisa menggambar, perkara bagus atau tidak itu subyektif. Tanya saja para kurator apa indikator bagus-tidaknya lukisan, pasti tidak ada persamaan yang mutlak. Saya pernah menekuni menggambar, khususnya versi digitalnya.
Mungkin lebih cocok diberi sub-judul menggambar lewat photosop. Atau editing foto. Whatever, intinya saya berhenti bahkan sebelum berkembang. Padahal sempat serius untuk beberapa waktu.
13. Menyupir
Bukan sekedar menyupir, tetapi cukup ahli dan mumpuni. Andai saya bisa menguasai skill ini, maka akan menjadi driver online yang jempolan. Kabarnya, para pegawai kantoran juga banyak yang nyambi jadi driver online.
14. Jurnalistik
Sampai kartu pers saya habis masa expired-nya, saya belum bisa bikin majalah online. Dulu sempat pernah serius mempelajari jurnalistik, karena pernah berprofesi sebagai content writer. Sayang karena kurang diasah, skill itupun memudar. Andai saya lebih serius mengasahnya, mungkin blog ini bisa lebih ramai. Lho?
15. Public speaking
Ini skill yang sebenarnya wajib dimiliki. Seharusnya bisa juga dikuasai karena seiring dengan majunya teknologi, banyak kursus online yang tersedia. Skill public speaking sangat dibutuhkan. Dulu pernah iseng mempelajarinya otodidak. Hasilnya tidak mengecewakan. Sayang sekali lagi sayang: konsistensi. Rasanya kata itu sangat mudah diketik tapi sulit dipratekkan.
Konklusi: Memang tidak ada manusia yang sempurna. Terlebih tidak ada yang bisa melihat masa depan. Walau begitu, dari masa lalu dan masa kini, kita bisa setidaknya mengintip masa depan kita. Kita adalah apa yang kita lakukan kemarin. Semoga artikel berbalut curhat ini bisa bermanfaat. Mari tingkatkan skill kita, pelajari dengan serius sesuatu yang kita senangi. Hasilnya memang tidak terlihat sekarang, tetapi suatu saat kita pasti akan memetiknya.
Posting Komentar untuk "Hal-hal yang Seharusnya Dulu Saya Pelajari (secara serius)."