Ketika Sekolah dan Guru Digantikan oleh Teknologi
Teknologi bisa jadi akan menggantikan peran sekolah. Mungkin ini terdengar kurang merdu bagi beberapa pihak, tetapi bukan berarti tidak mungkin terjadi. Di berbagai sektor, otomatisasi dan digitalisasi sudah berjalan secara masif. Termasuk dunia pendidikan.
Teknologi dan Pendidikan
Mari membuka mata untuk melihat kenyataan. Dengan adanya pandemi, school from home atau belajar dari rumah menjadi sebuah kewajaran. Inilah normal baru yang sudah terjadi di banyak tempat, termasuk juga Indonesia.
Makin dekatnya dunia pendidikan dengan teknologi, khususnya teknologi informasi dan digital semakin nyata. Semua bisa terlihat dengan mata terbuka. Mulai dari penggunaan berbagai aplikasi penunjang pembelajaran hingga munculnya beberapa bentuk sekolah jarak jauh yang tidak mewajibkan kehadiran siswa dan guru dalam satu ruangan secara fisik.
Aplikasi yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan di masa sekarang ini adalah Zoom. Ini merupakan sebuah aplikasi yang sebelumya hanya terkenal di kalangan freelancer maupun mereka yang menganut sistem bekerja secara remote.
Dengan zoom, guru bisa mengajarkan berbagai materi kepada siswa. Para siswa juga tidak perlu datang ke sekolah. Dengan bermodalkan smartphone, tablet, laptop atau komputer PC, mereka bisa mendapatkan pelajaran dan pengajaran dari para guru mereka.
Semakin hari, zoom semakin canggih. Para pengembang aplikasi ini melakukan penyempurnaan di sana-sini, sehingga Zoom Cloud Meeting makin digemari. Mulai dari fitur background, upgrade system hingga makin mudahnya pengaturan breakout room atau pemisahan ruang.
Mungkin merasa tersaingi, dua perusahaan teknologi terkemuka lainnya juga tidak kalah mengkampanyekan produk mereka sebagai produk yang ramah dan canggih untuk digunakan di kelas. Sebut saja Google dengan Google Meet dan Microsoft yang mengembangkan Microsoft 365 dimana terdapat sebuah aplikasi bernama TEAMS.
Baik Google Meet maupun TEAMS semuanya sama-sama punya fungsi utama sebagai media video conference, yang tidak lain adalah tulang punggung bagi pembelajaran online.
Lebih jauh lagi, Google Meet memudahkan pengguna karena menjadi satu paket dengan produk-produk Google lainnya. Hal yang sama juga ada di TEAMS yang merupakan produk Microsoft. Seperti diketahui, Microsoft adalah pemilik dari software olah data paling terkemuka, yakni Office.
Tidak hanya menawarkan layanan video conference, Microsoft juga punya Office 365 dimana di sana terdapat berbagai fitur antara lain Word, Power Point, Excel, Sway dan masih banyak lagi.
Google juga punya Google Classroom, dimana guru bisa membuat sebuah kelas digital lengkap dengan aneka administrasi pendukung, seperti students report, papan notifikasi hingga Google Calender. Semuanya terintegrasi dengan Google Drive, sebuah media penyimpanan berbasis awan atau yang dikenal dengan cloud.
Semua kemudahan ini bisa didapatkan hanya dengan dua piranti, yakni gadget dan internet. Jadi, siswa tidak perlu susah-susah menunggu bis, berjalan ke sekolah ketika hujan atau membawa aneka buku tulis yang terpisah. Ingat bahwa Google juga punya Google Keep dan Google Form yang akan membantu untuk menyimpan catatan dengan simpel dan fleksibel.
Pelaksanaan sekolah berbasis daring juga semakin terlihat 'sempurna' dengan hadirnya aneka program digital berbasis LMS atau learning management system yang sebelumnya hanya dipakai di beberapa universitas saja.
guru digantikan oleh teknologi |
Era Baru Sekolah Digital
Apa yang dilakukan oleh Zoom, Google dan Microsoft tentu saja bertujuan menggaet kustomer sebanyak-banyaknya. Meski mereka memiliki produk versi gratis, tetapi untuk bisa mengakses layanan dengan sempurna, maka sekolah ataupun siswa harus membeli produk berbayar.
Keuntungan yang diraih perusahaan digital yang berhasil masuk ke dunia pendidikan ini bisa dibilang cukup besar.
Dalam blognya, Zoom mengatakan bahwa kini layanan video conference miliknya telah digunakan 90.000 sekolah di lebih dari 20 negara. Hingga Maret 2021, ada lebih dari 200 juta rapat/pertemuan online tiap yang menggunakan zoom cloud meeting.
Zoom juga telah bekerja sama dengan Youtube sehingga sebuah kelas online akan menjangkau lebih banyak lagi siswa tanpa dibatasi ruang. Inilah revolusi pendidikan yang sebenarnya.
Bahkan jika kita lihat, pembelajaran model digital atau e-learning sudah merupakan kenyataan, bukan lagi angan-angan.
Dengan Paddlet siswa bisa mengunggah hasil karya dan proyek mereka untuk kemudian dipamerkan dan dikomentari oleh guru maupun siswa lainnya. Jika ingin terlihat oleh lebih banyak orang, mereka bahkan bisa menggunakan media sosial seperti Pinterest dan Instagram. Untuk karya dalam bentuk video panjang, Facebook dan Youtube bisa menjadi sarana pilihan.
Guru juga tidak perlu pusing memikirkan harus disimpan dimana hasil kerja siswa. Ada banyak pilihan penyimpanan, misal Google Drive, One Drive atau sistem penyimpanan cloud lainnya.
Tantangan Pembelajaran Berbasis Digital
Di atas adalah berbagai terobosan nyata yang sudah dilaksanakan. Tentu di belahan bumi lainnya, bisa saja inovasi yang sudah dilakukan jauh lebih canggih lagi.
Meski demikian, pepatah tiada gading yang tak retak juga berlaku. Pembelajaran online juga memiliki tantangan tersendiri, baik bagi guru dan siswa.
Beberapa masalah yang muncul antara lain :
- Kemampuan siswa dalam menyediakan gadget untuk menunjang pembelajaran daring.
- Permasalahan kestabilan jaringan internet.
- Isu keamanan data.
- Problematika seputar etika dan kesopanan ketika sedang melakukan sekolah online.
Daftar di atas memang menjadi masalah umum dalam pembelajaran berbasis online, namun ada satu hal lagi yang sebenarnya juga menarik untuk ditelaah. Siapkah sekolah dan guru digantikan oleh teknologi?
Teknologi dan Robot sebagai Sumber Belajar
Harus diakui suatu saat nanti potensi untuk menggeser guru dan sekolah dengan teknologi sudah adalah sebuah hal yang nyata adanya.
Normal baru sekarang ini seperti sebuah jalan pembuka. Ini bagai anak tangga pertama untuk mencapai ke arah tersebut.
Bayangkan saja, dengan mengetikkan kata kunci tertentu, maka seorang siswa bisa mendapatkan tayangan berisi hal-hal yang memang ingin ia pelajari. Tanpa perlu harus ke sekolah, bertemu dengan orang-orang yang mungkin tidak ia sukai, mengalami diskriminasi dari guru atau bersusah payah mempelajari hal lain yang tidak ia sukai.
Misal, seseorang ingin menjadi seorang programer komputer. Ia bisa menemukan jutaan materi dengan berbagai kualifikasi dan kualitas hanya dengan internet. Dan jika punya uang, ia bisa membeli beberapa kelas online dari penyedia kursus daring, misal Coursera ataupun Envato.
Ia benar-benar mendapatkan apa yang ia ingin pelajari, tanpa perlu harus berjibaku dengan aneka pelajaran lainnya yang tidak ia minati.
Ini baru satu contoh. Belum lagi contoh lainnya dimana akhirnya seorang guru hebat plus jenius yang ahli dalam mata pelajaran yang ia ampu ternyata juga ahli dalam mengajarkannya. Ia kemudian membuat video lengkap dengan ilustrasi yang menarik, gambar yang memukai hingga efek yang membuat siswa menyukainya dan mampu memahami topik itu dengan mudah. Jadi, ketika guru itu sudah tidak mengajar lagi, siswa tinggal memutar video hebat tersebut. Pada akhirnya siswa hanya butuh video pembelajaran sebagai sumber belajar, bukan lagi guru yang memegang kapur dan buku-buku tebal yang berdiri di depan papan tulis usang.
Sumber belajar bisa dari mana saja. Aneka channel edukasi di Youtube, Wikipedia, National Geographic hingga beberapa kelas berbayar di Facebook. Lantas bagaimana peran guru sebagai pengajar?
Tentu jika hal-hal gratis (dan mungkin berbayar) yang ada di internet tersebut bisa diakses dan makin mudah didapatkan, orang akan berpikir ulang untuk pergi ke sekolah.
Bukankah salah satu tujuan pendidikan adalah mendapatkan skill atau keahlian? Bagaimana jika itu semua bisa didapatkan dari internet? Melalui smartphone di kamar yang hangat ditemani secangkir coklat panas dan kue-kue manis? Tentu itu jauh lebih nyaman daripada harus belajar di sekolah.
Mengenai ijasah, hal ini juga bisa diperdebatkan. Orang bisa saja setelah menamatkan level pembelajaran tertentu lalu mengikuti sebuah tes yang diselenggarakan oleh lembaga yang sudah ternama. Bukankah akhirnya perusahaan akan mengakuinya juga.
Misalkan, seseorang ingin menguasai Bahasa Inggris. Ia pun berlangganan kursus berbayar dan mengikuti program yang membuatnya bisa bercakap-cakap dengan native speaker, misalkan dengan Discord, Hellotalk atau Fluentu. Setelah merasa mahir, ia kemudian mendaftar ikut tes TOEFL, TOEIC ataupun IELTS.
Andaikan gagal mencapai target yang diinginkan, ia bisa mengulang atau membeli aplikasi penunjang persiapan TOEFL. Setelah berhasil, iapun akan mendapatkan pengakuan dalam bentuk sertifikat yang diakui oleh seluruh dunia.
Makin Sedikit Guru Dibutuhkan
Apa yang terjadi di atas juga bisa terjadi untuk pelajaran lainnya. Metode pembelajaran online sedang dan akan terus naik daun. Siswa tinggal mencari sertifikat keterampilan yang menunjukkan bahwa ia memang mampu menguasai dan menggunakan suatu skill, misalkan memasak, pertukangan, robotika, olah data hingga desain grafis.
Alhasil apa yang terjadi? Tentu saja akan makin sedikit guru yang dibutuhkan, termasuk juga akan makin sedikit sekolah fisik yang perlu dibangun. Bisa saja satu sekolah menjangkau lebih luas lagi wilayah atau sekaligus tanpa bisa dibatasi oleh batasan regional.
Guru akan tetap ada. Bukankah yang membuat dan menyusun pembelajaran, entah itu online, offline ataupun hybrid learning adalah guru? Namun sekali lagi jumlahnya tidak akan perlu sebesar sekarang. Diakui atau tidak.
Hal ini harus segera diantipasi. Setidaknya dalam level individu. Menjamurnya LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) harus segera dianalisa ulang. Pada tahun 2019, mantan Menteri Pendidikan Muhajir Efendi mengungkapkan ada 4700 LPTK dengan jumlah lulusan pertahun mencapai lebih dari 300.000 orang. (Sumber (1) lihat bawah)
Sementara Rektor UPI, Asep Kadarohman, pada tahun 2019 jumlah mahasiswa program studi kependidikan mencapai lebih dari 1,4 juta orang. (Sumber (2) lihat bawah).
Tentu saja semua lulusan itu tidak mungkin menjadi guru PNS. Bahkan persaingan untuk memperebutkan kursi guru di lembaga swasta akan tetap lebih ketat juga.
Menikmati Kemudahan Teknologi
Dengan semakin bervariasinya jumlah aplikasi maupun program yang disediakan secara daring, maka siswa seakan bisa dimanjakan. Mereka bisa memilih program mana yang paling cocok untuk membantu mereka mencapai level tertentu dalam pembelajaran.
Namun harus disikapi bersama, tidak semua orang akan menikmati teknologi seperti ini. Pemerataan akses masih menjadi masalah utama.
Tetapi kini pemerintah melakukan langkah berani. Misalnya dengan menyelenggarakan ANBK tahun 2021 untuk semua jenjang mulai dari SMA/SMK hingga SD.
Bisa jadi nantinya akan makin banyak siswa terjangkau oleh teknologi. Terlebih harga gadget yang semakin murah.
Meski demikian, komersialisasi pendidikan tetap bisa terjadi, khususnya dengan tidak adanya regulasi tentang kursus online berbayar tersebut.
Guru Harus Siap
Inilah yang harus dilakukan oleh guru dan sekolah, yakni benar-benar bisa menyambut era teknologi, bukan menolaknya. Andaikan nanti pemerintah dalam waktu dekat benar-benar mewajibkan sekolah kembali dibuka, maka guru harus tampil beda.
Pelajari semua pendekatan pembelajaran yang menyenangkan. Tingkatkan kemampuan dan penguasaan materi. Bimbing siswa dengan telaten, cermat, disiplin, adil dan penuh kasih sayang. Semuanya itu tidak bisa didapatkan dari robot. Hanya guru sejati yang mampu melakukannya.
Referensi :
- Ristekdikti Akan Batasi Jumlah LPTK Swasta - Kabar24.bisnis.com - diakses pada 28/11/2021.
- Bijak Menyikapi Over Supply Tenaga LPTK - Jabarprov.go.id - diakses pada 28/11/2021.
- Menyambut Pembelajaran Tatap Muka : New Normal dan Inovasi yang Terpaksa - Esaiedukasi.com.
2 komentar untuk "Ketika Sekolah dan Guru Digantikan oleh Teknologi"